Desa-desa di Ubud mengadakan pertunjukan seni seminggu sekali secara bergiliran. Hampir setiap malam ada pertunjukan seni di balai desa yang berbeda-beda. Setiap desa memiliki jenis pertunjukan andalannya masing-masing, misal Desa A mempertunjukan tari Kecak pada hari Senin, Desa B mempertunjukkan tari Keris di hari Selasa dst.
Banyaknya turis mancanegara di Ubud (dan areal wisata lain di Bali) memungkinkan hal ini berjalan secara rutin, hal yang tidak terdapat di pulau-pulau lain di Indonesia.
Kami memutuskan untuk melihat pertunjukan Tari Kecak. Berdasarkan info dari hotel kami mencari Balai Desa tempat pertunjukan dilakukan. Para petugas 'marketing' desa sudah menawar-nawarkan karcis di radius 100 meter seharga Rp 75.000 (!) yang tidak bisa ditawar lagi. Saya tidak yakin wisatawan lokal mau membayar sejumlah itu untuk melihat tari tradisional.
Setelah membeli tiket kami mendapat selembar brosur tentang pertunjukan yang akan diadakan dalam berbagai bahasa.
Kursi-kursi plastik disusun melingkari pelataran didepan candi bentar yang berfungsi sebagai Gerbang keluar para penari. Kursi penonton juga disusun bertingkat diatas panggung sederhana supaya penonton bagian belakang tetap jelas menonton. Ada satu buah lampu besar menyorot pelataran yang berfungsi sebagai panggung. Selebihnya penerangan menggunakan obor bercabang-cabang ditengah panggung.
Cukup mengesankan bahwa sekitar 100 kursi penonton terisi penuh padahal ini hari biasa bukan weekend. Hampir seluruh penonton wisatawan asing. Jam 19.30 tanpa basa-basi pertunjukan dimulai.
Tari pertama adalah tari Kecak yang sebetulnya merupakan fragmen dari sendratari Ramayana tanpa gamelan secara a capella. Sebetulnya tari ini diciptakan tahun 1930 oleh Wayan Limbak dan Walter Spies dengan inspirasi dari tari-tari Sanghyang (kerauhan) yang sudah ada. Tarian ini sengaja diciptakan untuk tontonan umum. Kalau tari-tarian Sanghyang yang asli sudah ada sebelum masa Hindu dan merupakan tarian penolak bala.
Melihat para penari kecak keluar dari gerbang cukup menarik. Sekitar 50 orang penari pria kurus dan gemuk tua muda bertelanjang dada dan mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih dengan bunga diselipkan di telinga. Lalu seorang dukun mulai memercikkan air suci kepada seluruh penari. Ritual ini diulangi pada setiap tarian.
Lalu mereka mulai melagukan 'cak cak cak' sambil menggerakkan tangan bersama-sama. Penaripun muncul dengan kisah Sinta yang diculik Rahwana yang menyamar sebagai kijang emas.
Tari kedua adalah Sanghyang Dedari (bidadari). Dua orang penari cilik perempuan menari legong diiringi paduan suara ibu-ibu dan bapak-bapak bergantian. Saya kurang bisa menangkap maksud dari tarian ini, ketika anak-anak itu jatuh, lalu beri air suci oleh seorang ibu, lalu menari lagi, lalu jatuh lagi. Saya faham bahwa ini sejenis tarian trance tetapi kurang berkesan. setelah saya search lagi saya baru tahu bahwa anak-anak itu menari sambil memejamkan mata karena trance. Tapi dalam pertunjukan komersil tidak ada yang trance.
Tari ketiga adalah Sanghyang Jaran. Seorang lelaki menaiki kuda kepang menari-nari. Sebelumnya di pelataran dipersiapkan batok-batok kelapa yang disiram minyak tanah dan dibakar. Lalu penari kuda kepang mulai menendang-nendang dan menginjak batok kelapa menyala-nyala itu sampai bertebaran hampir mengenai penonton. Penonton berteriak ngeri dan beringsut takut kena bara.
Ketiga jenis tarian ini termasuk dalam tarian Sanghyang, yaitu tarian kerauhan (trance) akibat spirit-spirit binatang atau yang lainnya.
Setelah ketiga tarian itu selesai seorang tetua mengucapkan terimakasih dan selesailah acara ini. Para penonton pulang mencari makan malam dengan kenangan indah tentang tarian eksotis dan magis dari Pulau Bali.
Tambahan: untuk melihat tari Sanghyang Dedari yang asli bisa lihat video (silent) ini yang dibuat tahun 1926, sangat magis, mengesankan bercampur seram!
Banyaknya turis mancanegara di Ubud (dan areal wisata lain di Bali) memungkinkan hal ini berjalan secara rutin, hal yang tidak terdapat di pulau-pulau lain di Indonesia.
Kami memutuskan untuk melihat pertunjukan Tari Kecak. Berdasarkan info dari hotel kami mencari Balai Desa tempat pertunjukan dilakukan. Para petugas 'marketing' desa sudah menawar-nawarkan karcis di radius 100 meter seharga Rp 75.000 (!) yang tidak bisa ditawar lagi. Saya tidak yakin wisatawan lokal mau membayar sejumlah itu untuk melihat tari tradisional.
Setelah membeli tiket kami mendapat selembar brosur tentang pertunjukan yang akan diadakan dalam berbagai bahasa.
Kursi-kursi plastik disusun melingkari pelataran didepan candi bentar yang berfungsi sebagai Gerbang keluar para penari. Kursi penonton juga disusun bertingkat diatas panggung sederhana supaya penonton bagian belakang tetap jelas menonton. Ada satu buah lampu besar menyorot pelataran yang berfungsi sebagai panggung. Selebihnya penerangan menggunakan obor bercabang-cabang ditengah panggung.
Cukup mengesankan bahwa sekitar 100 kursi penonton terisi penuh padahal ini hari biasa bukan weekend. Hampir seluruh penonton wisatawan asing. Jam 19.30 tanpa basa-basi pertunjukan dimulai.
Tari pertama adalah tari Kecak yang sebetulnya merupakan fragmen dari sendratari Ramayana tanpa gamelan secara a capella. Sebetulnya tari ini diciptakan tahun 1930 oleh Wayan Limbak dan Walter Spies dengan inspirasi dari tari-tari Sanghyang (kerauhan) yang sudah ada. Tarian ini sengaja diciptakan untuk tontonan umum. Kalau tari-tarian Sanghyang yang asli sudah ada sebelum masa Hindu dan merupakan tarian penolak bala.
Melihat para penari kecak keluar dari gerbang cukup menarik. Sekitar 50 orang penari pria kurus dan gemuk tua muda bertelanjang dada dan mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih dengan bunga diselipkan di telinga. Lalu seorang dukun mulai memercikkan air suci kepada seluruh penari. Ritual ini diulangi pada setiap tarian.
Lalu mereka mulai melagukan 'cak cak cak' sambil menggerakkan tangan bersama-sama. Penaripun muncul dengan kisah Sinta yang diculik Rahwana yang menyamar sebagai kijang emas.
Tari kedua adalah Sanghyang Dedari (bidadari). Dua orang penari cilik perempuan menari legong diiringi paduan suara ibu-ibu dan bapak-bapak bergantian. Saya kurang bisa menangkap maksud dari tarian ini, ketika anak-anak itu jatuh, lalu beri air suci oleh seorang ibu, lalu menari lagi, lalu jatuh lagi. Saya faham bahwa ini sejenis tarian trance tetapi kurang berkesan. setelah saya search lagi saya baru tahu bahwa anak-anak itu menari sambil memejamkan mata karena trance. Tapi dalam pertunjukan komersil tidak ada yang trance.
Tari ketiga adalah Sanghyang Jaran. Seorang lelaki menaiki kuda kepang menari-nari. Sebelumnya di pelataran dipersiapkan batok-batok kelapa yang disiram minyak tanah dan dibakar. Lalu penari kuda kepang mulai menendang-nendang dan menginjak batok kelapa menyala-nyala itu sampai bertebaran hampir mengenai penonton. Penonton berteriak ngeri dan beringsut takut kena bara.
Ketiga jenis tarian ini termasuk dalam tarian Sanghyang, yaitu tarian kerauhan (trance) akibat spirit-spirit binatang atau yang lainnya.
Setelah ketiga tarian itu selesai seorang tetua mengucapkan terimakasih dan selesailah acara ini. Para penonton pulang mencari makan malam dengan kenangan indah tentang tarian eksotis dan magis dari Pulau Bali.
Tambahan: untuk melihat tari Sanghyang Dedari yang asli bisa lihat video (silent) ini yang dibuat tahun 1926, sangat magis, mengesankan bercampur seram!
Comments