Daging dan Ikan Berformalin Tanggung Jawab Siapa?

Setiap menjelang hari raya biasanya kita akan membaca berita mengenai inpeksi mendadak alias sidak kelayakan daging dan ikan di pasar tradisional.  Contohnya dalam berita vivanews ini disebutkan sidak yang dilakukan pada bulan puasa oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Selatan menemukan 15 ekor ayam mengandung formalin dalam dosis tinggi.   Pedagang yang jualannya mengandung pengawet berbahaya diberi surat peringatan, seperti yang kita baca diberita itu.

tukang daging

Ada pepatah bahwa keledaipun tidak akan jatuh ke lubang yang sama, atau bahwa tindakan yang sama akan menghasilkan hasil yang sama pula.  Menurut pendapat saya itulah yang dilakukan dinas-dinas terkait yang melakukan inspeksi mendadak ini.  Setiap menjelang hari raya, mereka seperti puteri tidur yang dicium pangeran, menggeliat dan berjalan menuju pasar untuk memeriksa ayam, daging, ikan, dan menemukan pengawet berbahaya didalamnya, memberi surat peringatan (dan barangkali menerima beberapa lembar rupiah untuk ketenangan bersama), lalu pulang untuk tidur dorman sampai hari raya berikut.

Para petugas dari dinas-dinas ini tidak peduli bahwa keluarga merekapun membeli produk-produk makanan itu di pasar, menyuapi anak, istri atau suami mereka dengan ayam, ikan atau daging berformalin / boraks setiap harinya.  Sepertinya inilah yang disebut member nafkah tidak halal untuk keluarga.  Atau barangkali para petugas dinas makanan itu membeli ayam dan daging disupermarket yang berpendingin setiap hari?
Yang tidak masuk diakal menurut saya adalah para pedagang itu dibiarkan berdagang ayam/ikan/daging tanpa es batu atau pendingin.  Ini seperti mengharapkan keajaiban makanan-makanan itu akan tetap awet dari tempat pemotongan mereka sampai ke pedagang dan dijual sampai sianghari tanpa pengawet tanpa membusuk! Wow… sungguh-sungguh negeri penuh keajaiban.

Seharusnya dinas Makanan dan Obat mengharuskan para penjual ayam/daging/ikan untuk menggunakan pendingin atau es batu.  Jadi yang diinspeksi adalah es batu dan pendinginnya.  Tidak mungkin daging yang digeletakkan dimeja batu akan tetap awet berjam-jam dalam suhu ruangan.
Juga ditempat penyembelihan hewan harus diperhatikan penyimpanan dan pendistribusian daging tersebut.  Daging atau ayam potong harus diangkut dengan mobil berpendingin sampai ke pedagang.  Jika pemotongan ayam dilakukan dipasar tradisional maka ayam tersebut harus disimpan ditempat berpendingin/ es batu.
Sangat tidak relaistis untuk mengharapkan pedagang menjual ayam/daging/ikan tanpa pengeawet tanpa es batu/pendingin.  Seharusnya dinas terkait mengontrol para pedagang ini dan mengharuskan penggunaan es batu/pendingin disetiap los yang menjualnya.  Kalau mereka tidak mau maka konsekwensinya mereka tidak boleh berjualan.

Jika dulu pak JK bisa ‘memaksa’ penduduk Indonesia untuk beralih dari kompor minyak tanah ke kompor gas, maka ‘memaksa’ pedagang ikan dan daging untuk memakai chiller bukanlah hal yang tidak mungkin.  Bahkan pemerintah bisa membagikan chiller gratis atau setengah harga untuk menunjang program ini.  Tentu saja ini harus diikuti dengan sosialisasi cara perawatan chiller, membersihkannya secara teratur, mengatur penempatan daging baru dibawah daging lama (first in first out)dst.

Jika sesudah sosialisasi chiller dan es batu ini tetap ditemukan daging berpengawet berbahaya maka akibatnya pelakunya harus dihukum secara pidana, karena dengan adanya pendingin hal ini seharusnya tidak terjadi.  Dengan itu pedagang/pemasok bisa dihukum dengan fair, bukan menjebak mereka setiap menjelang hari raya.

Gambar dari Padang-today

Baca juga Kuliner Penyebab Migren

Comments